Candi Borobudur adalah monumen raksasa inspirasi kebajikan yang dibangun secara kolosal di pusar Pulau Jawa selama lebih dari 75 tahun dan usai pada tahun 825 M dalam pemerintahan Raja Smaratungga. Candi Borobudur sempat terkubur dalam sejarah selama lebih dari 1.000 tahun sebelum terkuak kembali, dipugar, dan kini diakui sebagai situs UNESCO's World Heritage no. 592 serta tercatat di Guinness World Records sebagai situs arkeologi Buddhis terbesar di dunia.
Pra-Pembangunan
Pada abad ke-3 sampai abad ke-5 M, agama Hindu dan Buddha mulai menyebar di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara. Zaman prasejarah di Indonesia pun berakhir kala prasasti pertama ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta oleh berbagai kerajaan Hindu di Indonesia.
Pada tahun 732 M, menurut prasasti Canggal, Raja Sanjaya yang beragama Hindu-Siwa mendirikan Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Mereka membangun banyak candi, lingga, tempat pemujaan bercorak India-Jawa. Kemudian, pengaruh agama Buddha mulai memasuki zaman keemasannya di Nusantara. Raja-raja Medang berikutnya memeluk agama Buddha. Mereka menamakan diri sebagai Wangsa Syailendra.
Pembangunan Candi Borobudur dibangun di daerah Kedu pada tahun 750-825 M oleh Wangsa Syailendra. Pembangunannya dimulai dari masa pemerintahan Rakai Panangkaran dan dituntaskan pada masa pemerintahan Smaratungga. Pembangunan Borobudur memakan waktu 75 tahun. Periode pembangunan candi ini hampir bersamaan dengan pembangunan Candi Sewu di Dataran Prambanan bersama dengan candi-candi Hindu lainnya, yang menunjukkan kerukunan hidup di antara umat beragama pada zaman itu.
Menurut legenda, arsitek Candi Borobudur bernama Gunadharma, yang berasal dari India. Figur wajah Gunadharma konon bisa dilihat dari lekuk Bukit Menoreh tak jauh dari Candi Borobudur. Arsitektur Borobudur merupakan perpaduan budaya India dan Jawa yang harmonis dan merupakan mahakarya dunia.
Candi Borobudur merupakan salah satu dari rangkaian tri candi Mendut-Pawon-Borobudur yang dibangun dalam satu garis lurus jika dilihat dari angkasa. Ini melambangkan urutan prosesi ritual dari Mendut menuju Pawon lalu menuju Borobudur. Ketiga candi ini memang memiliki arsitektur, seni pahat, kisah relief, serta unit bangun yang senada.
Pada tahun 792 M, Raja Smaratungga mendirikan wihara Buddhis bernama Abhayagiri di puncak bukit situs yang saat ini dikenal dengan nama Kompleks Ratu Boko. Raja dibantu oleh para biksu Sri Lanka dari wihara Abhayagiri di Sri Lanka.
Pada tahun 824 M, Raja Smaratungga dan putrinya Pramodawardhani memasang citra dewa-dewi di wihara Buddhis bernama Weluwana (Hutan Bambu) yang diperkirakan ada di sekitar Borobudur, yakni lokasi yang kini dikenal sebagai Candi Mendut.
Kamadhatu
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau
"nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu
yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki
asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi.
Rupadhatu
Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau
relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Pada pagar langkan
terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari
ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah
dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya
dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini
kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu
Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai
lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang
tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai
stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa).
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya
berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan
cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan
polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana
jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta
terbebas dari lingkaran samsara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar